DIALOG FUNGSIONAL PENDIDIKAN
ISLAM DENGAN UUSPN TAHUN 1989
Oleh : Saifudin Zuhri
A. Pendahuluan
Pendidikan agama yang hanya menekankan pada akumulasi
pengetahuan agama belum mampu membuahkan hasil sedemikian rupa pada pembentukan
kepribadian anak didik. Banyak kasus kenakalan remaja, perkelahian pelajar,
prostitusi cilikan (ciblek – cilikan betah melek: Jawa), penyalahgunaan obat
terlarang, pil ecstasi, minuman keras alat-alat kontrasepsi dan sebagainya.
Muncullah kritik bahwa khususnya pendidikan agama terlal menitikberatkan pada
dimensi kognitif-inteektual, kurang menyentuh aspek afektif dan psikomotorik
serta wilayah-wilayah transendental.
Pendidika agama Islam lebih efektif dalam meningkatkan mutu
kehidupan sejalan dengan UUSPN dalam berbagai aspek, baik ekonomi, sosial,
politik dan penyiapa sumber daya manusia yang terampil, tidak terlupakan dalam
muatan kurikulum lokalnya. Karena itu muata kurikulum yang sesuai dengan
permintaan dasar perlu direalisasikan, kendatipun tidak harus sejalan dengan
aliran rekonstruksionisme. Dan dalam hal
ini pun tentu saja harus dibarengi
keterpaduan dimensi kognitif, efektif dan psikomotorik menjadi sau bangunan
yangkomprehensif. Lewat keterpaduan ini pendidikan agama yang bersifat
intelektualistik-integratif dengan yang bersifat transformatik, yang pada
ujungnya mampu membentuk prilaku dan sikap hidup yang pragmatis fungsional.
Dalam kerangka itulah, tulisan singkat ini akan mencoa
mengetengahkan dilog fungsional antara
pendidikan Islam dan Undang-Undang RI No.2 ahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dialog tersebut diharapkan akan menemukan signifikansinya dalam
rangka pemberdayaan pendidikan Islam sebagai sub sistem Pendidikan Nasional
Indonesia.
B. Beberapa Pokok Pikiran UUSPN Tahun 1989
Sejak berlakunya UUSPN 1989 seluruh sistem pendidikan
dituntut untuk menempatkan diri sebagai sub-sistem daripada pendidikan
nasional. Karena itu, sebagai upaya mencari peluang penempatan pengembangan
sistem pendidikan Islam secara integralistik trhadap sistem pendidikan nasional
perlu mengkaji kerangka pemikiran penyusunan UUSPN.
Dari konsideran UUSPN, setidaknya dapat dilihat beberapa
pokok pikiran mengenai fungsi dan tugas pendidikan. Pertama, bahwa penetapan
UUSPN merupakan upaya mencerdaskan bangsa; kedua, meningkatkan kualitas manusia
Indonesia sebagai bagian dari usaha mewujudkan kemajuan masyarakat yang adil
dan makmur; ketiga, erupakan peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaraan
pendidikan nasional; keempat, penyesuaian perkembangan Sistem Pendidikan
Nasional; kelima, memantapkan ketahanan nasional serta memajukan masyarakat
yang berakal pada kebudayaan bangsa dan persatuan nasional yang berwawasan
Bhineka Tunggal Ika.
Kaitan dengan pokok pikiran ini, selanjutnya dari uraian
mengenai penjelasan umum UUSPN diperoeh pengertian bahwa pelaksanaan
pembangunan nasional sebagai pengamala Pancasila. Ialah manusia pembangunan
yang berkualitas tinggidan memiliki kemampuan profesional untuk mandiri. Dengan model ini diharapkan dapat memberikan
dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara. Suatu tahap
perkembangan yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh yaitu
terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan ideologi yang
bertentangan dengan Pancasila.
Dalam penjelasan berikutnya diperoleh pengertian bahwa
pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan nasional,
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sementara itu masyarakat sebagai
penyelenggara suatu sistem pendidikan memiiki kebebasan untuk menyelenggarakan
suatu kegiatan pendidikan yang sesuai dengan ciri masing-masing sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa dan
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara (Abdul Munir, 1993: 230).
Sejalan dengan pokok pikiran diatas, pendidikan Islam
merupakan bentuk pelaksanaan pendidikan yang memilii ciri dan sifat khusus yang
berkaitan dengan ajaran islam yang diyakini oleh penyelenggara pendidikan.
Kendatipun demikian, berdasrkan tuntutan kenegaraan dan kebangsaan di atas, mau
tidak mau penidikan Islam juga harus memuat tujuan bagi peningkatan kualitas
hidup manusia dalam kerangka ketahanan nasional. Dalam waktu yang sama mestinya
juga harus kehilangan jati dirinya sebagai upaya mencetak pribadi muslim yang
merupakan bagian utuhdari konfigurasi iman di dalam dirinya (Muslim A. Kadir,
dalam Chabib Thoha, 1996: 53).
Selanjutnya, sesuai dengan kerangka pemikiran di atas,
setiap penyelenggara pendidikan Islam tidak saja dituntut untuk memenuhi dan
memahami sistem ajaran Islam dan nilai-nilai dasar Pancasila, lebih daripada
itu ditutut pula untuk memiliki kemamuan teoretis dalam mengembangkan suatu
formula pendidikan Islam yang sintetik sekaligus dialogis. Dalam pada itu,
untuk memahami peluang lebih lanjut pendidikan Islam sebagai sub-sistem pendidikan
nasional harus menguak berbagai pokok pikiran yang tertuang dalam pasal-pasal
UUSPN. Karena keterbatasan kemampuan dan disiplin ilmiah, di sini hanya akan
diungkapkan hal-hal yang langsung berkaitan dengan fungsi pendidikan.
C. Fungsi Pendidikan Islam
Dalam pasal 3 UUSPN dinyatakan bahwa: fungsi pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat
manusia. Hal ini berarti setiap bentuk khusus pelaksanaan pendidikan implisit
pendidikan Islam juga harus memenuhi fungsi tersebut, yakni mengembangkan
kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Ketiga fungsi
tersebut bila dilihat secara empirik pada dataran pelaksanaan pendidikan Islam,
ada beberapa masukan yang positif yang disuarakan oleh masyarakat.
1. Pengembangan Kemampuan
Pendidikan agama (Islam) oleh banyak kalangan pakar
pendidikan Islam, pada dekade akhir-akhir ini dinilai terlalu menitikberatkan
aspek kognitif-intelektual, kurang menyentuh aspek efektif dan psikomotorik.
Jelasnya kurang melatih dan menanamkan jiwa dan sikap hidup beragama. Anak
didik dapa saja hafal di luar kepala tentang arkan al-shalah, arkan al-wudu,
arkan al-siam dan sebagainya, dan sedetail-detailnya tentang rukun, sah dan
batalnya ibadah, bahkan akidah al-awam pun mudah untuk dihafalkan.
Sesungguhpun demikian mereka memasuki dunia realitas,
seketika pada kehidupan masyarakat luas, bisa kita saksikan tingkah laku mereka
kurang mencerminkan pengetahuan agama yang mereka miliki dalam benak mereka.
Bahkan ironisnya dalam kehidupan di kampusnya sendiri, nilai-nilai agama belum
tercermin dalam perilakunya lebih-lebih dalam dunia hubungan remaja. Untuk
beberapa wilayah utamanya di kota-kota besar ditopang oleh kenyataan semakin
banyaknyakasus kenakalan remaja, perkelahian pelajar, prostitusi remaja (orang
daerah Klaten menyebut Cilikan), menngkatnya tingkat kriminalitas baik di kota
maupun di desa, penyalahgunaan obaat keras, pil ectasy (pil koplo), minuman
keras, tertib lalu-lintas dan lain-sebagainya. Ditambahkan pula, jika kita
amati lebih lanjut tindak kejahatan ke arah putih (white collar crime) dan top
heavy corruption yang dipraktekkan oleh orang tua.
Memang, mungkin saja kritik tersebut belum mengacu pada
penelitian yang akurat, apakah munculnya kecenderungan tindak amoral dan tindak
kriminal itu lantaran kesalahan penekanan pengajaran agama di sekolah dan di
luar sekolah atau lantaran faktor-faktor lain seperti kesenjangan ekonomi,
politik, globalisasi informasi, pengaruh film kekerasan dan eksploitasi sex dalam
layar TV dan lain sebagainya yang sangat erat kaitannya dengan persoalan
tersebut. Sungguhpun demikian, sebagai input, kritik masyarakat perlu
diperhatikan oleh para pendidik agama baik pada tingkat sekolah menengah maupun
perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya IAIN (Amin Abdullah dalam al-Rahman,
1995:18).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar