Minggu, 11 Januari 2015

Saifudin Zuhri

DIALOG FUNGSIONAL PENDIDIKAN ISLAM DENGAN UUSPN TAHUN 1989

Oleh : Saifudin Zuhri
A. Pendahuluan
Pendidikan agama yang hanya menekankan pada akumulasi pengetahuan agama belum mampu membuahkan hasil sedemikian rupa pada pembentukan kepribadian anak didik. Banyak kasus kenakalan remaja, perkelahian pelajar, prostitusi cilikan (ciblek – cilikan betah melek: Jawa), penyalahgunaan obat terlarang, pil ecstasi, minuman keras alat-alat kontrasepsi dan sebagainya. Muncullah kritik bahwa khususnya pendidikan agama terlal menitikberatkan pada dimensi kognitif-inteektual, kurang menyentuh aspek afektif dan psikomotorik serta wilayah-wilayah transendental.
Pendidika agama Islam lebih efektif dalam meningkatkan mutu kehidupan sejalan dengan UUSPN dalam berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, politik dan penyiapa sumber daya manusia yang terampil, tidak terlupakan dalam muatan kurikulum lokalnya. Karena itu muata kurikulum yang sesuai dengan permintaan dasar perlu direalisasikan, kendatipun tidak harus sejalan dengan aliran rekonstruksionisme.  Dan dalam hal ini  pun tentu saja harus dibarengi keterpaduan dimensi kognitif, efektif dan psikomotorik menjadi sau bangunan yangkomprehensif. Lewat keterpaduan ini pendidikan agama yang bersifat intelektualistik-integratif dengan yang bersifat transformatik, yang pada ujungnya mampu membentuk prilaku dan sikap hidup yang pragmatis fungsional.
Dalam kerangka itulah, tulisan singkat ini akan mencoa mengetengahkan dilog fungsional  antara pendidikan Islam dan Undang-Undang RI No.2 ahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dialog tersebut diharapkan akan menemukan signifikansinya dalam rangka pemberdayaan pendidikan Islam sebagai sub sistem Pendidikan Nasional Indonesia.

B. Beberapa Pokok Pikiran UUSPN Tahun 1989
Sejak berlakunya UUSPN 1989 seluruh sistem pendidikan dituntut untuk menempatkan diri sebagai sub-sistem daripada pendidikan nasional. Karena itu, sebagai upaya mencari peluang penempatan pengembangan sistem pendidikan Islam secara integralistik trhadap sistem pendidikan nasional perlu mengkaji kerangka pemikiran penyusunan UUSPN.
Dari konsideran UUSPN, setidaknya dapat dilihat beberapa pokok pikiran mengenai fungsi dan tugas pendidikan. Pertama, bahwa penetapan UUSPN merupakan upaya mencerdaskan bangsa; kedua, meningkatkan kualitas manusia Indonesia sebagai bagian dari usaha mewujudkan kemajuan masyarakat yang adil dan makmur; ketiga, erupakan peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan nasional; keempat, penyesuaian perkembangan Sistem Pendidikan Nasional; kelima, memantapkan ketahanan nasional serta memajukan masyarakat yang berakal pada kebudayaan bangsa dan persatuan nasional yang berwawasan Bhineka Tunggal Ika.
Kaitan dengan pokok pikiran ini, selanjutnya dari uraian mengenai penjelasan umum UUSPN diperoeh pengertian bahwa pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamala Pancasila. Ialah manusia pembangunan yang berkualitas tinggidan memiliki kemampuan profesional untuk mandiri.  Dengan model ini diharapkan dapat memberikan dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara. Suatu tahap perkembangan yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh yaitu terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam penjelasan berikutnya diperoleh pengertian bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sementara itu masyarakat sebagai penyelenggara suatu sistem pendidikan memiiki kebebasan untuk menyelenggarakan suatu kegiatan pendidikan yang sesuai dengan ciri masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa dan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara (Abdul Munir, 1993: 230).
Sejalan dengan pokok pikiran diatas, pendidikan Islam merupakan bentuk pelaksanaan pendidikan yang memilii ciri dan sifat khusus yang berkaitan dengan ajaran islam yang diyakini oleh penyelenggara pendidikan. Kendatipun demikian, berdasrkan tuntutan kenegaraan dan kebangsaan di atas, mau tidak mau penidikan Islam juga harus memuat tujuan bagi peningkatan kualitas hidup manusia dalam kerangka ketahanan nasional. Dalam waktu yang sama mestinya juga harus kehilangan jati dirinya sebagai upaya mencetak pribadi muslim yang merupakan bagian utuhdari konfigurasi iman di dalam dirinya (Muslim A. Kadir, dalam Chabib Thoha, 1996: 53).
Selanjutnya, sesuai dengan kerangka pemikiran di atas, setiap penyelenggara pendidikan Islam tidak saja dituntut untuk memenuhi dan memahami sistem ajaran Islam dan nilai-nilai dasar Pancasila, lebih daripada itu ditutut pula untuk memiliki kemamuan teoretis dalam mengembangkan suatu formula pendidikan Islam yang sintetik sekaligus dialogis. Dalam pada itu, untuk memahami peluang lebih lanjut pendidikan Islam sebagai sub-sistem pendidikan nasional harus menguak berbagai pokok pikiran yang tertuang dalam pasal-pasal UUSPN. Karena keterbatasan kemampuan dan disiplin ilmiah, di sini hanya akan diungkapkan hal-hal yang langsung berkaitan dengan fungsi pendidikan.

C. Fungsi Pendidikan Islam
Dalam pasal 3 UUSPN dinyatakan bahwa: fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan serta  meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Hal ini berarti setiap bentuk khusus pelaksanaan pendidikan implisit pendidikan Islam juga harus memenuhi fungsi tersebut, yakni mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Ketiga fungsi tersebut bila dilihat secara empirik pada dataran pelaksanaan pendidikan Islam, ada beberapa masukan yang positif yang disuarakan oleh masyarakat.
1. Pengembangan Kemampuan
Pendidikan agama (Islam) oleh banyak kalangan pakar pendidikan Islam, pada dekade akhir-akhir ini dinilai terlalu menitikberatkan aspek kognitif-intelektual, kurang menyentuh aspek efektif dan psikomotorik. Jelasnya kurang melatih dan menanamkan jiwa dan sikap hidup beragama. Anak didik dapa saja hafal di luar kepala tentang arkan al-shalah, arkan al-wudu, arkan al-siam dan sebagainya, dan sedetail-detailnya tentang rukun, sah dan batalnya ibadah, bahkan akidah al-awam pun mudah untuk dihafalkan.
Sesungguhpun demikian mereka memasuki dunia realitas, seketika pada kehidupan masyarakat luas, bisa kita saksikan tingkah laku mereka kurang mencerminkan pengetahuan agama yang mereka miliki dalam benak mereka. Bahkan ironisnya dalam kehidupan di kampusnya sendiri, nilai-nilai agama belum tercermin dalam perilakunya lebih-lebih dalam dunia hubungan remaja. Untuk beberapa wilayah utamanya di kota-kota besar ditopang oleh kenyataan semakin banyaknyakasus kenakalan remaja, perkelahian pelajar, prostitusi remaja (orang daerah Klaten menyebut Cilikan), menngkatnya tingkat kriminalitas baik di kota maupun di desa, penyalahgunaan obaat keras, pil ectasy (pil koplo), minuman keras, tertib lalu-lintas dan lain-sebagainya. Ditambahkan pula, jika kita amati lebih lanjut tindak kejahatan ke arah putih (white collar crime) dan top heavy corruption yang dipraktekkan oleh orang tua.

Memang, mungkin saja kritik tersebut belum mengacu pada penelitian yang akurat, apakah munculnya kecenderungan tindak amoral dan tindak kriminal itu lantaran kesalahan penekanan pengajaran agama di sekolah dan di luar sekolah atau lantaran faktor-faktor lain seperti kesenjangan ekonomi, politik, globalisasi informasi, pengaruh film kekerasan dan eksploitasi sex dalam layar TV dan lain sebagainya yang sangat erat kaitannya dengan persoalan tersebut. Sungguhpun demikian, sebagai input, kritik masyarakat perlu diperhatikan oleh para pendidik agama baik pada tingkat sekolah menengah maupun perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya IAIN (Amin Abdullah dalam al-Rahman, 1995:18).          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar